Sumitri, Ni Wayan
(2016)
BAHASA RITUAL DAN KEKUASAAN TRADISIONAL ETNIK RONGGA.
Kongres Internasional Masyarakat Linguistik Indonesia 2016.
Abstract
Rongga di Flores NTT. Fokus kajiannya pada aspek sosio-etnolinguistik terkait dengan bahasa ritual meliputi: (1)
bentuk-bentuk linguistik dan non linguistik yang relevan dengan nilai-nilai kekuasaan; (2) sistem nilai budaya yang
terkait dengan nilai-nilai kekuasaan itu sendiri yang terkandung didalamnya; (3) proses pemerolehan, pewarisan,
pemertahanannya di masa lampau dan kini, serta prospeknya di masa mendatang dalam dinamika sosiopolitik baik
di Manggarai Timur dan Indonesia. Tujuannya adalah untuk mengetahui sejauh manakah terjadi interaksi antara
bahasa (ritual) etnik Rongga dengan kekuasaan. Interaksinya akan dikaji dari dua dimensi, yakni tradisional dan
kotemporer, dilihat dari dinamikanya terkait dengan usaha konservasi bahasa dan budaya minoritas yang
terpinggirkan (Arka, 2013;2015). Penelitian ini termasuk penelitian deskriptif-kualitatif dengan pendekatan
etnografi merupakan kelanjutan dari penelitian bahasa dan budaya Rongga (Arka, 2010; Sumitri, 2015). Inovasi
kajian terletak pada ancangan yang diusulkan berupa kajian kapital lingusitik sebagai bagian dari kapital lainnya
(sisiokultural dan ekonomis) (Morrison dan Lui, 2000; Bourdieu 1997). Metode dan teknik pengumpulan data
adalah pengamatan, wawancara, studi dokumentasi, rekam dan catat.
Temuan. Secara linguistik, terdapat kekhasan satuan bentuk ujaran bahasa ritual bersifat puitis arkais dalam polapola
bersajak dengan tingkat kesulitan dalam bentuk dan irama yang tinggi. Secara etnolinguistik, bahasa ritual
berisi pesan/makna yang sarat nilai sosial budaya dan pengetahuan etnik Rongga. Bahasa ritual tersebut ditopang
pula dengan perilaku ragawi untuk menunjang kebermaknaan esensi pesan yang disampaikan. Relasi kekuasaan dan
bahasa ritual terbangun secara alamiah melalui sejumlah kualitas persona yang dihargai tinggi dengan mendapatkan
pengakuan atas posisinya dalam hirarki sosial seperti kemampuan, keterampilan, dan kepekaan dalam penguasaan
pengetahuan adat yang luhur dengan ekpresi linguistik dengan tingkat kerumitan tinggi sebagai bentuk kapital
linguistik dan kultural bagi seseorang. Terbentuknya kapital linguistik dan budaya yang tinggi pada seseorang
adalah proses yang kompleks, kombinasi dari kualitas diri dan bakat verbal linguistik serta pembawaan dengan
legitimasi seseorang. Semua itu diperoleh secara tradisional berdasarkan pengalaman dan juga bersifat genealogis
(dengan otoritas rohaniah) terkait dengan adat/suku/marga tertentu yang semuanya menjadi sumber daya potensial
yang berakumulasi pada pengaruh dan kekuasaan menggerakkan kepatuhan dan penghormatan warga lain.
Walaupun kekuasaan tradisional mengalami penyusutan, yang bisa dijelaskan dengan baik dari perspektif
pergeseran ideologi (bahasa/budaya) dan ekologi kekuasaan lebih besar, namun fungsi dan perannya tidaklah punah
sama sekali. Diargumentasikan bahwa dinamika kekuasaan tradisional mestinya didokumentasikan dan dipahami
dengan baik, diaktualisasi untuk kepentingan kontemporer sebaik-baiknya. Kekuatan legitimasinya tergerus sebagai
dampak dari kehadiran sistem pemerintahan/birokrasi modern Indonesia (menggantikan sistem kedaluan pada tahun
1960an). Meskipun demikian, sistem pewarisan kekuasaan tradisional masih mengikuti garis kekuasaan kepada
orang yang memiliki kapital linguistik-budaya, umumnya tokoh adat yang berpengaruh, yang mampu menguasai
bahasa ritual dan memanfaatkan pengetahuan adat dan energi lembaga adat untuk berbagai kepentingan, baik
ritual/tradisi maupun kontemporer. Makalah lengkap akan menguraikan lebih jauh secara komparatif dampak
positif-negatif terpisahnya (perekrutan) kepemimpinan dan kekuasaan ditingkat lokal (tradisional/adat vs. modern),
dalam konteks kapital budaya/linguistik yang lebih luas di Indonesia.
Available Versions of this Item
Actions (login required)
|
View Item |